“ Masih jauh ya?”tanya sahabat saya, wartawan muda yang penuh gelora dan penuh rasa ingin tahu. Perjalan melewati Jalan terjal, curam dan berkelok kelok membelah pegunungan hutan yang sebagian sudah terjamah tangan jahil, memang terasa melelahkan. Menaiki kendaraan untuk melewatinya dibutuhkan nyali. Sang sopir harus berpengalaman. Kalau tidak, jurang menganga disamping jalan mendaki akan menjadi ancaman.
Sorot mata sahabat saya, menyiratkan takjub memperhatikan sang sopir” Kalau mau ke Samar, harus bawa mobil yang pakai Handel” ujar sang sopir tadi. Benar saja, salah satu mobil yang ikut dalam rombongan ngadat, mesinnya berasap seperti mau meledak. Mobil tampa handel tersebut terpaksa terongok di tengah hutan, menunggu bala bantuan.
Hanya tiga mobil yang tetap melaju terus. Tiga sepeda motor mengikuti, empat sepeda motor lainnya mendahului, melihat situasi jalan, kalau-kalau ada jembatan putus atau lobang besar. Sudah 15 Kilometer yang dilalui, tinggal 50 kilometer lagi yang mesti ditempuh untuk sampai dikemukiman tempat pusara Bener Merie, keturunan raja Linge, yang namanya kemudian diambil menjadi nama kabupaten Bener Meriah ini, tempat yang hendak dituju rombongan.
Tiba di jembatan Wih Kanes, jembatan yang sudah memakan korban nyawa manusia ini sudah diperbaiki. Kelebihan berat, meski terbuat dari baja, jembatan ini ambruk bersama sebuah beko, sang sopir dan kernet menjadi korban. Dua orang lagi luka berat. Sisa-sisa bekas-bekas ritual syukuran saat jembatan siap diperbaiki berserakan disekitar jembatan.
Ikan-ikan yang dulu banyak, kini tinggal sedikit, habis distroms oleh orang-orang serakah. Lebah-lebah enggan membuat sarang, terganggu oleh suara mesin chainsaw yang meraung-raung memumbangkan pohon-pohon besar satu persatu. Beberapa petak sawah, menyelilingi sekitar jembatan.
Sampai di sebuah persimpangan, rombongan berhenti. Beberapa batu seukuran bola kaki berjejer ditengah jalan. Isyarat arah jalan tersebut tidak bisa dilewati. Setelah dicek oleh salah seorang anggota rombongan lewat radiogram diketahui, ada badan jalan yang jatuh. Tidak bisa dilewati kenderaan roda empat. Hanya bisa dilewati kendaraan roda dua.
Lewat sebuah komando dari Ir Azwiransyah, kepala Bapedda Bener Meriah yang ikut dalam rombongan, dua mobil rombongan menuju arah kiri. Bagi yang bersepeda motor tetap menuju arah jalan tadi. Mobilpun kemudian menanjak, menyusuri tanjakan-tanjakan tajam, menuju kawasan yang kaya dengan bahan tambang tersebut.
Tidak seperti sebelumnya, meski cukup menanjak, tapi permukaan jalan cukup mulus. Jalan yang baru saja dilakukan pengerasan, dananya dari BRR. Gelak tawa, penumpang kembali terdengar, saya lebih memilih merenung memperhatikan kondisi hutan lewat jendela mobil. Banyak hutan-hutan terlihat mulai gundul. Limbah kayu, berupa serbuk dan potongan kayu tampak di beberapa titik. Bekas pemelakan liar. Keadaan ini sangat kontras dengan sulitnya kayu di Bener Meriah.
Hari sudah mulai gelap. Tapi Samarkilang masih jauh. Di sebuah desa rombongan berhenti, saya memperhatikan sebuah tumpukan kayu di lapangan yang sudah diratakan di tengah desa. Dari warga, saya tahu kayu itu pembangun masjid desa setempat. Ketatnya, pelaksanaan Monotorium Ilegal Logging, membuat masjid itu tidak jadi-jadi. Kayu yang ditebang dihutan rakyat dan hendak dijual untuk membeli seng masjid, ditangkap oleh Polisi Hutan..
MPD Bener Meriah Gelar Lokakarya Stakeholder Pendidikan
-
REDELONG : Majelis Pendidikan Daerah ( MPD) Kabupaten Bener Meriah gelar
Lokakarya Stakeholder Pendidikan, yang diikuti ratusan peserta yang terdiri
dari p...